Friday, July 6, 2007

Racun di Pernikahanku


Pernikahanku baru seusia jagung tapi cobaan sudah serimbun beringin. Aku
nyaris putus asa. Perkawinan ternyata hanya menimbun kesedihan semata.
Haruskah pernikahanku karam? Kemana perginya cinta?

Aku Ayu (23), bekerja sebagai staf di salah satu kantor penyedia layanan
ISP. Lima bulan lalu aku menikah setelah berpacaran 2 tahun. Suamiku, sebut
saja Rasyid, bekerja sebagai staf di perusahaan swasta. Usia kami terpaut 5
tahun. Sementara ini kami masih menumpang di rumah keluargaku. Di rumah
hanya ada satu adikku selain dua orang tuaku, dan satu pembantu.

Terus terang, gajiku lebih besar daripada Rasyid. Dan ini cukup memicu
pertengkaran setelah kami menikah. Sebabnya Rasyid merasa aku tidak terlalu
membutuhkan dirinya. Mungkin dia salah paham. Jujur saja, suamiku berasal
dari keluarga yang pas-pasan. Karena itu, kadang kalau dia menyerahkan
gajinya, acap kuserahkan kepada orang tuanya sebagian. Rupanya sikap ini
menyinggung Rasyid. Dia mengira aku tidak butuh dan tidak menghargai
gajinya. Padahal sebenarnya, aku ingin membantu orang tuanya dan dua adiknya
yang masih kuliah.

Karena ribut, akhirnya aku tidak menyerahkan gaji Rasyid ke orangtuanya.
Tapi, malah orangtuanya yang kemudian datang, meminta bantuan. Mau tidak mau
aku terpaksa menyerahkan juga. Hal ini pun memicu pertengkaran. Rasyid
sampai bertengkar dengan orangtuanya karena hal itu. Mau tidak mau
orangtuaku pun menengahi dan menjelaskan maksudku. Juga menasihati Rasyid
untuk tidak terlalu "keras" pada orangtuanya.

Aku tahu bahwa Rasyid sensitif. Ia barangkali rikuh kami tinggal di rumahku.
Aku pernah menawarkan mengontrak rumah padanya, tapi dia sendiri bingung.
Jika mengontrak, kami memang lebih bebas. Tapi resikonya, aku tidak akan
dapat lagi sering membantu kebutuhan keluarga Rasyid. Karena, jika
mengontrak sendiri jelas kebutuhan kami akan meningkat nyaris dua kali
lipat. Rasyid semakin marah waktu kujelaskan hal itu. "Selalu saja uang dan
keluargaku yang jadi masalah. Memang aku tidak sekaya keluarga kamu!"
teriaknya, dan pergi.

Masalah lain, orangtua Rasyid seperti jadi tergantung denganku. Tanpa setahu
Rasyid, mereka acap menelpon untuk pinjam uang, di luar bagian dari gaji
Rasyid yang aku berikan. Alasannya macam-macam, dari yang sekolah, ingin
ini-itu, dan lainnya. Awalnya aku menerima hal itu. Tapi, kian lama makin
menjadi. Sampai orangtuaku menasihatiku agar tidak selalu menuruti
permintaan mertua. Apalagi, mereka acap meminta agar aku tidak pernah
menceritakan hal itu kepada suamiku.

Bulan keempat ini, kami ribut besar. Sebabnya sepele. Rasyid mendapat
liburan dari kantornya untuk pesiar ke Bali. Karena teman-temannya beberapa
lajang, dia ternyata tidak mengajakku untuk ikut liburan. Padahal, liburan
itu jatah untuk suami istri. Aku pun tahu setelah dia akan berangkat, waktu
temannya datang menjemput dan bertanya mengapa akut idak bisa ikut. Padahal,
aku tak tahu tentang hal itu. Akhirnya aku marah. Aku marah bukan karena
tidak diajak. Melainkan mengapa Rasyid tidak mengatakan kepadaku mengenai
hal itu. Masalah dia tidak ingin aku ikut, itu kan dapat dibicarakan, dan
aku tidak akan memaksa. Tapi bahwa dia mengatakan liburan itu hanya untuk
satu orang, bagiku sebuah kebohongan.

Waktu aku tanya soal kebohongan itu, dengan enteng dia jua mengatakan kalau
aku pun sering berbohong. "Kamu juga sering bohong. Ibuku selalu utang, dan
tidak pernah kamu cerita ke aku. Bagi kamu aku dan keluargaku memang hanya
beban, kan?"

Masya-Allah. "Kebohongaku" kan berbeda. Aku tidak bercerita karena patuh
pada permintaan orang tua Rasyid, dan itu tidak merupakan kejahatan. Karena
kalau aku bercerita, pasti tidak akan ada uang yang jatuh dari dompetku atas
izin Rasyid. Karena dua hal di atas, kami ribut besar. Dan Rasyid tidak
pulang beberapa hari, dia tidur di tempat temannya.

Masalah lain, sampai saat ini aku jarang sekali mendapatkan kepuasan
seksual. Rasyid serba terburu-buru, dan terlalu cepat selesai. Pernah aku
bicarakan dengan dia hal ini, tapi jawabannya sungguh memalukan! "Cari suami
lain kalau kamu ingin puas!" Atau "Sewa gigolo aja!" Gila kan?

Pernah ketika suasana tenang, dia kuajak bicara. Kujelaskan dengan bahasa
yang sangat pelan, bahwa kepuasan aku itu penting bukan untuk aku, tapi demi
kehamilanku. Dia diam. Agaknya dia mengerti maksudku yang memang ingin
segera punya momongan. Aku berharap, dengan adanya momongan, semua
ketidaknyamanan ini akan berakhir. Tapi,orang tuaku yang tahu perangaoi
Rasyid malah mengajurkan aku menunda momongan. Saran mereka, selama aku
belum dapat akur dan saling mengisi dengan Rasyid, jangan dulu punya
momongan. Karena butuh mental dan cinta yang hebat untuk dapat membesarkan
anak. Apalagi, situasi rumah tangga yang emosional begitu, kata ibuku,
sangat tidak bagus untuk kehamilanku. Aku bingung. Entah mana yang harus
kuikuti.

Ketika hal itu kukatakan pada Rasyid, dia marah besar. Kembali soal gaji dan
ekonomi yang dia bicarakan. Dia tidak mau dengar apa pun alasanku. Bahkan,
dia berkata, "Jika aku tidak ada harganya di matamu dan mata keluargamu,
kita bercerai saja!"

Gusti, kenapa jadi begini. Kenapa kata cerai begitu gampang dia keluarkan?

Kini, hubungan kami bukannya makin bagus, tapi kacau. Nyaris tak ada
komunikasi antara aku dan dia. Rasyid selalu pulang malam, dan berangkat
pagi-pagi ke kantor. Kalau kutanya, "Aku pusing di rumah ini!!" jawabnya.

Pembaca, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mulai memikirkan
perceraian? Atau benar kehamilan akan membuat masalahku akan jadi berkurang?
Tolong bantulah aku...

(Sebagaimana cerita Ayu.....)
*Sumber Milis*

Post a blog at 7/06/2007 07:30:00 AM
---------***---------

0 Comments:

Post a new comment

Wednesday, July 4, 2007

Aku di Persimpangan Rasa


Selalu ada ketakutan setiap kali aku melihat dirinya. Tapi bersamaan rasa
takut itu, terselip letupan-letupan hasrat yang juga mendesak. Aku berada di
tengah persimpangan antara dosa dan penuntasan hasrat. Aku takut benteng
pertahananku jebol.

Sebut aku Maria (33), ibu rumah tangga dengan dua anak, Dika (8) dan Dona
(4). Asalku dari Salatiga, dan sejak menikah 10 tahun lalu, aku menetap di
Semarang, di daerah Jangli. Luk (35), suamiku, orang yang penyabar dan
sangat sayang. Ia juga sangat perhatian pada keluarga, dan juga dua anak
kami. Tak segan, jika ada rejeki berlebih, dia akan sisihkan untuk membantu
kedua orang tua kami. Tanpa perbedaan. Hal itulah yang membuat Luk jadi
menantu kesayangan orang tuaku. Mbak dan Masku juga suka dengannya, karena
Luk sangat ringan membantu.

Keluarga kami terhitung harmonis. Nyaris tak ada pertengkaran, kecuali di
saat-saat kami acap berbeda pendapat, misalnya menentukan sekolah Dika dan
Dona. Itu pun perdebatan yang kami tutup dengan tawa. Oh ya, Luk bekerja di
sebuah instansi pemerintah. Jam kerja yang terjadwal itu membuatnya dengan
beberapa teman membuka usaha lain di daerah Sampangan. Itulah sebabnya
ekonomi rumah tangga kami cukup lumayan.

Sebagai suami, Luk juga penuh perencanaan. Begitu Dika lahir, misalnya, dia
segera membuka tabungan. Katanya, dana abadi, untuk Dika sekolah nanti.
Begitu juga saat Dona lahir, segera dia buka tabungan. Kedua tabungan ini
kami isi tiap tanggal lahir anak kami. Dan sampai saat ini belum pernah
terkurangi. Hal-hal semacam inilah yang membuatku sangat mencintai Luk.
Nyaris tak ada kekurangan dalam keluarga kami. Aku merasa jadi istri yang
sempurna. Ya, sempurna, sampai Lina, tetanggaku, memasuki kehidupanku. ...

Kejadiannya September lalu. Setiap pagi, aku memang sendiri di rumah. Dika
ke sekolah dan Dona ke TK. Pembantu biasanya ikut menunggu Dona sampai dia
pulang sekitar pukul 11 siang. Biasanya juga, pukul 9 aku sudah selesai
berberes rumah, dan menunggu Dona datang sambil menonton TV. Nah, saat
itulah Lina datang. Ia warga baru, tiga rumah dari tempat tinggalku.
Orangnya manis, dan tubuhnya bagus. Anaknya satu, masih TK juga, meski tak
satu sekolah dengan Dona. Sudah tiga bulan dia menetap di daerahku, dan
hubungan kami cukup dekat. Mungkin karena warga baru, dia ramah pada siapa
pun. Terutama padaku. Beberapa kali dia telah main ke rumah, tapi baru ini
pagi hari, saat rumah sepi.

Dia datang membawa sesuatu. "Tontonan heboh!" katanya sambil tertawa. Aku
senyum saja. Dia lalu mengeluarkan DVD itu. Aku sudah menduga, pasti dia
membawa DVD porno. Yang tidak aku duga, dia ingin menonton di rumahku. "Di
rumahku ada pembantu. Nggak enak juga kalau dia tahu majikannya nonton
beginian," katanya, terkekeh. Aku mau menolak, tapi nggak enak. Akhirnya,
didorong rasa ingin tahu juga, kami pun memutar DVD itu.

Jujur saja, aku memang belum pernah menonton film begituan. Makanya, begitu
melihat, tubuhku merinding. Antara ngeri, aneh, tapi juga penasaran. Dan,
entah bagaimana ceritanya, saat tontonan itu tengah berlangsung, Lina yang
duduk di sebelahku, mengelus-elus betisku. Awalnya aku singkirkan. Tapi,
tangan itu tak jera juga, tetap singgah dan mengelus. Aku singkirkan, terus
mengelus. Akhirnya aku biarkan. Dan selama tontonan itu, Lina memang selalu
memandang TV, juga di saat dia mengelusi betisku. Tapi, lama-lama elusan itu
naik ke pahaku. Saat itu aku memang hanya memakai daster saja. Dan entah
bagaimana juga, aku mulai menikmati sentuhannya yang terus naik, naik, dan
naik...

Pembaca, aku tidak tahu bagaimana menceritakannya. Selanjutnya, aku dan
Lina-lah yang ditonton TV. Kami seperti belut yang tengah bertarung. Ya
barangkali begitu. Aku hanya ingat bagaimana aku berusaha memejamkan mata
terus dan merasakan tubuhku berangsur-angsur mendidih, panjang, lama... dan
akhirnya meledak. Ledakan yang kurasa kuiringi dengan teriakan yang sangat
keras. Lalu aku terhempas. Membuka mata, kulihat Lina yang berkeringan dan
terengah-engah dan tersenyum. Ia tampak puas. Aku sendiri, tidak tahu
bagaimana menjelaskannya. Ada rasa aneh dalam diriku. Aku merasa dibawa ke
sebuah pengalaman yang asing, tapi mendebarkan. Ngeri tapi mengasikkan.
Pengalaman yang rasanya belum pernah aku dapatkan. Lina lalu memberesi
pakaiannya, dan dengan sabar juga memakaikan kembali semua pakaianku. Dan,
dalam keheningan itulah, dia mengatakan sesuatu yang membuka mata batinku.
"Kamu tidak pernah orgasme, ya?"

Lina lalu menjelaskan kalau reaksiku itu seperti perempuan yang pertama
sekali mengenal seks. Teriakanku teriakan yang asing dan kaget. Reaksi
tubuhku adalah seperti gairah karena belum pernah disentuh. Aku hanya diam
mendengar penjelasannya. Dia lalu pulang. Tanpa membawa DVD itu.

Pertanyaan Lina tentang orgasme itu begitu memacu rasa ingin tahuku.
Kemudian aku mencoba mencari tahu. Dan, ternyata aku memang bodoh. Setelah
membaca beberapa buku yang aku beli, baru kusadari, memang ada yang tidak
beres dalam hubungan intimku dengan Luk. Luk ternyata terlalu cepat. Dia
"pemain" yang cepat panas dan selesai. Aku tidak pernah menyadari ada
waktu-waktu normal untuk hubungan semacam itu. Selama ini, sensasi yang aku
dapatkan, nikmat yang aku rasakan kukira adalah titik tertinggi. Ternyata,
setelah pengalamanku dengan Lina, baru aku tahu, aku belum pernah menggapai
pengalaman seksual tertinggi itu, orgasmus itu. Oalah...

Pengetahuan itu mendorongku ingin tahu lebih jauh tentang hal itu. Dan, aku
jadi mengerti kalau yang Lina lakukan itu, merakusi seluruh inci tubuhku,
ternyata hal yang umum dilakukan, terutama di Eropa sana, seperti yang aku
lihat di DVD itu. Rasa asing dan aneh itu ternyata hanya karena
ketidaktahuanku. Kini aku tahu, kini aku mengerti, ada yang belum pernah aku
rasakan dengan Luk, dan aku harus mendapatkannya. Aku pun mengusahakannya,
mencari-cari, tapi Luk tak pernah memberi. Aku ajak dia bicara, memancingnya
agar mau melakukan *foreplay* yang lebih lama. Dia mau tapi berakibat dia
lebih cepat "mendapat". Aku cuma sampai di tengah bukit, tak mencapai puncak
dan menggapai awan. Aku tak pernah melayang dan merasakan terhempas.

Maka, begitu Lina datang beberapa minggu kemudian, aku seperti orang yang
ketagihan. Aku yang memintanya. Dan pengalaman kedua itu membuatku jadi
mengerti sekali tentang hal-hal yang belum pernah aku dapatkan. Barangkali,
di pengalaman ketiga aku jadi tahu segalanya tentang daerah di tubuhku. Tapi
bersama itu juga, aku merasa bersalah dan berdosa. Aku merasa perbuatanku
dengan Lina adalah sebuah perselingkuhan. Lina mengatakan itu hanya
permainan, tapi tidak bagiku. Aku merasa berdosa. Apalagi, di kitabku jelas
tertulis hal itu sebagai tindakan yang dilarang. Aku pun mulai menjauhi
Lina. Aku ingin kehidupanku yang dulu. Aku merasa dulu begitu sempurna, Luk
begitu sempurna. Kedatangan Linalah yang membuat kesempurnaan itu berkurang.
Aku merasa lebih baik aku tidak pernah tahu tentang hal semacam itu dan
merasa bahagia. Daripada aku tahu dan merasa ada yang kurang dalam
perkawinanku. Itulah sebabnya, Lina yang datang aku tolak. Alasanku sakit,
tidak enak badan, ada Luk, ada pembantu, dan lainnya. Dan Lina selalu
tersenyum. Aku takut. Kian aku tolak dia, kian kurasakan ada penerimaan di
dalam diriku. Setiap melihat Lina, kurasakan ada yang berdesir. Aku takut,
tapi aku juga ingin. Aku terjebak pada dua rasa itu. Aku takut tidak kuat
melawan rasa ingin ini dan terseret selamanya dalam dosa itu. Kebingungan
ini sangat menyiksaku.. .

(Sebagaimana cerita Maria.....)
*Sumber Milis*

Post a blog at 7/04/2007 09:36:00 AM
---------***---------

0 Comments:

Post a new comment


......